Monday, January 21, 2013

Teori Permintaan Islam

By
Hukum Permintaan
Di sini hal pertama yang harus diketahui bahwa teori ekonomi yang dikembangkan barat membatasi analisisnya dalam jangka pendek, yakni hanya sebatas sejauh mana manusia memenuhi keinginannya saja. Sama sekali tidak ada analisis yang memasukkan nilai-nilai moral dan sosial. Analisis hanya membahas variabel-variabel pasar saja seperti harga, pendapatan dan sebagainya. Variabel-variabel yang sangat penting lainnya tidak dimasukkan kedalamnya, misalnya variabel nilai moral kesederhanaan, keadilan, sikap itsar, dan sebagainya.

Dalam ekonomi islam, setiap keputusan ekonomi seorang manusia tidak terlepas dari nilai-nilai moral dan agama, karena setiap kegiatan senantiasa dihubungkan dengan syariat. Al-Qur’an menyebut ekonomi sebagai iqtishad (penghematan, ekonomi) yang dapat diartikan sebagai “pertengahan” atau “moderat”. Seorang muslim dilarang melakukan pemborosan (QS. Al-Israa: 26-27). Seorang muslim diminta untuk mengambil sebuah sikap moderat dalam memperolej oleh dan menggunakan sumber daya. Tidak boleh israf (berlebih-lebihan) tetapi juga dilarang pelit (bukhl).

Paradigma Konsumsi Islami
Al-qur’an dan hadits mengajarkan, dalam kaitannya dengan perilaku konsumen antara lain:
  1. Islam mengakui kemampuan dan ketrampilan individu itu berbeda-beda. Untuk itu tidak masuk akal dan tidak adil apabila terjadi persamaan mutlak diantara semua anggota masyarakat dalam hal pendapatan, konsumsi dan sebagainya. Justru dalam islam perbedaan ini menjadi suatu system sosial dan mekanisme internal tersendiri. Karena itu yang hidupnya lebih mapan dapat memberikan sadaqoh, infaq maupun zakat kepada yang kurang mampu. Dalam islam diajarkan bahwa ‘tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah”.
  2. Islam mewajibkan zakat, yakni mengeluarkan sebagian kecil harta yang telah melewati batas nisab tertentu baik dari segi jumlah maupun waktu penguasaan harta tersebut. Zakat adalah kewajiban bagi umat islam yang kaya. Jika berzakat itu wajib, maka menjadi kaya dan mampu juga menjadi wajib agar bisa berzakat.
  3. QS. Ar-Rum ayat 38:
“Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”
 Dalam tafsir dijelaskan bahwa yang berhak menerima zakat adalah:
  1. Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi kebutuhannya; 
  2. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan; 
  3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat; 
  4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk islam, maupun orang yang baru memasuki islam dan imannya masih lemah;
  5.  Memerdekakan budak; 
  6. Orang yang berhutang; 
  7. Di jalan Allah (sabilillah); 
  8. Musafir
Sedangkan aturan islam mengenai bagaimana seharusnya melakukan kegiatan konsumsi adalah sebagai berikut:
1. Tidak boleh berlebih-lebihan
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-An’am ayat 141:”…. Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. Jika manusia dilarang untuk berlebih-lebihan, itu berarti manusia sebaiknya melakukan konsumsi seperlunya saja. Ayat ini juga menjelaskan untuk memerangi kemubadziran, sifat sok pamer, dan mengkonsumsi barang-barang yang tidak perlu. Dalam bahasa ekonomi, perilaku konsumsi islami yang tidak berlebih-lebihan didorong oleh faktor kebutuhan (needs) dari pada keinginan (wants).

Kebutuhan disini jangan hanya dibatasi pada kebutuhan pribadi saja, ada kebutuhan yang lain yang juga penting, yaitu kebutuhan membantu orang lain, Rasulullah bersabda bahwa “Tidak termasuk kedalam golonganku, orang yang tidur dengan nyenyak sedangkan dia mengetahui tetangganya dalam keadaan lapar”.

2. Mengkonsumsi yang Halal dan Thayyib
Konsumsi seorang muslim dibatasi kepada barang-barang yang halal dan tayyib (QS. Al-Baqarah: 75). Tidak ada permintaan kepada barang yang halal. Dalam islam, barang yang sudah dinyatakan haram tidak mempunyai nilai ekonomi, karena sifatnya yang tidak boleh diperjual belikan.
Facebook Twitter Google+

Artikel Terkait:

0 comments:

Post a Comment